Novel Romantis Cinta Yang Tumbuh Tanpa Sengaja
Awal yang Tenang, Hati yang Mengunci
Alya selalu memulai harinya dengan cara yang sama—sunyi, teratur, tanpa kejutan apa pun. Ia bangun sebelum matahari terbit, menyalakan lampu kamar yang temaram, lalu membuat secangkir kopi yang aromanya memenuhi sudut-sudut apartemen mungilnya. Tidak ada suara selain denting sendok yang beradu dengan gelas dan hembusan napasnya sendiri. Hidupnya sederhana, lurus, dan tidak membutuhkan orang lain untuk mengisi ruang-ruang kosong di dalamnya. Setidaknya, begitu yang ia yakini.
Sejak lama, Alya mengunci hatinya rapat-rapat. Pengalaman masa lalu telah mengajarkan bahwa kepercayaan adalah sesuatu yang rapuh, dan cinta… bisa menjadi pisau yang menusuk dari belakang. Ia belajar mencintai kesendirian, bukan karena ia menikmatinya sepenuhnya, tapi karena itu membuatnya merasa aman. Aman dari kemungkinan kecewa. Aman dari kemungkinan ditinggalkan lagi.
Di kantor, ia dikenal sebagai perempuan yang tegas dan tidak banyak bicara. Ia menyelesaikan pekerjaan tanpa perlu bantuan siapa pun, dan jarang terlibat dalam percakapan ringan dengan rekan-rekannya. Orang-orang menghormatinya, tetapi juga belajar menjaga jarak. Alya tidak pernah memintanya, namun cara ia membawa diri membuat orang lain secara otomatis mengerti: batas itu nyata, dan lebih baik tidak dilanggar.
Bagi Alya, hidup seperti ini sudah cukup. Ia tidak membutuhkan hiruk-pikuk emosi yang rumit. Tidak perlu ada seseorang yang datang, menetap, lalu pergi. Ia percaya bahwa ketenangan paling aman adalah ketenangan yang tidak menyertakan hati. Setiap langkahnya sudah terencana, setiap keputusannya dibuat dengan kepala dingin. Hati, bagi Alya, cukup menjadi organ yang memompa darah—bukan tempat untuk menyimpan siapa pun.
Namun, meski ia terlihat begitu kokoh dari luar, jauh di dalam dirinya ada ruang yang pernah hangat, yang pernah terisi, dan kini dibiarkan redup. Sesekali, saat malam datang dan lampu kota terlihat seperti titik-titik kecil di kejauhan, ia merasakan getaran kecil dari ruang yang telah lama ia abaikan itu. Tetapi ia selalu mengusirnya pergi, meyakinkan diri bahwa rasa rindu pada kedekatan bukanlah sesuatu yang perlu ia rawat.
Alya percaya bahwa hidupnya akan terus berjalan dalam garis lurus yang tenang—tanpa gangguan, tanpa perubahan. Ia tidak tahu bahwa ketenangan itu hanya sementara; bahwa waktu tengah menyiapkan seseorang yang pelan-pelan akan menggeser ritme hidupnya. Tetapi untuk saat ini, dalam subuh yang sunyi itu, ia hanya seorang perempuan yang menjaga dirinya sebaik mungkin dari dunia luar.
Bagi Alya, keheningan adalah pelindung. Dan dinding yang ia bangun di sekeliling hatinya adalah benteng terakhir yang ia jaga dengan segala tenaga. Ia tidak punya alasan untuk membuka pintu itu lagi. Tidak ada siapa pun yang cukup berarti untuk mengetuknya… atau begitulah yang ia kira.
Karena saat itu, ia belum tahu—bahwa seseorang sedang berjalan perlahan ke arahnya. Seseorang yang kelak tidak hanya hadir dalam hidupnya, tapi juga menemukan jalan menuju hatinya. Seseorang yang tanpa disadari akan mengubah hidup yang tenang itu menjadi sesuatu yang jauh lebih hangat. Namun saat ini, Alya masih berdiri di awal kisah, berdiri sendiri, dengan hati yang terkunci rapat.
Pertemuan Pertama: Kebetulan yang Mengusik
Hari itu, Alya tidak berniat menemukan apa pun selain ketenangan yang biasa mengiringi rutinitas paginya. Ia berjalan cepat menuju kantor, hujan rintik-rintik membuat trotoar licin dan udara dingin menusuk ke kulit. Tasnya ditenteng di sisi kiri, sementara satu tangan lain memegangi payung hitam yang sudah mulai goyah diterpa angin. Ia tidak terganggu—setidaknya tidak sampai seseorang menabraknya dari arah berlawanan.
“Maaf!” suara itu terdengar terburu-buru. Payung Alya miring, sepatu haknya hampir tergelincir. Ia menahan napas, mencoba menjaga keseimbangan. Di hadapannya, seorang pria berdiri sambil memegang map yang nyaris terlepas dari genggamannya.
Alya memperbaiki posisi payung, mencoba mengabaikan kejadian kecil itu. “Tidak apa,” ucapnya singkat, dingin, dan langsung melanjutkan langkahnya.
Namun pria itu berjalan di arah yang sama, dan beberapa detik kemudian ia kembali menyamakan langkah. “Setidaknya biar saya gantikan payungnya. Kelihatannya mau roboh,” ujarnya sambil tersenyum ringan—senyum yang tidak berlebihan, tapi cukup hangat untuk membuat Alya merasa sedikit tidak nyaman.
“Tidak perlu,” jawab Alya cepat. Ia tidak suka perhatian, apalagi dari orang asing.
Tapi hujan semakin deras, dan payungnya memang hampir patah di salah satu ruasnya. Tanpa menunggu persetujuan lebih jauh, pria itu membuka payung besar berwarna abu-abu yang ia bawa. “Kalau kita berjalan ke arah yang sama, anggap saja ini solusi bersama. Saya Raka, by the way.”
Alya menoleh sebentar. Mata pria itu tidak menuntut apa-apa—hanya menatap dengan kesopanan yang jarang ia temui. Tidak ada paksaan, tidak ada maksud tersembunyi. Ia mengembuskan napas perlahan. “Alya,” jawabnya, hanya agar percakapan itu selesai.
Keduanya berjalan berdampingan, meski Alya selalu menjaga jarak aman. Hujan membuat suasana lebih senyap, hanya suara rintik-rintik yang terdengar di antara mereka. Anehnya, Alya melihat dari sudut matanya bahwa pria itu menjaga langkah agar tidak terlalu dekat. Seolah ia mengerti batas pribadi yang Alya jaga begitu erat.
“Sering lewat sini?” tanya Raka kemudian, nada suaranya ringan, tidak menyelidik.
“Setiap hari,” Alya menjawab pendek.
Raka mengangguk. “Saya juga. Tapi mungkin saya kurang peka, baru sadar kalau ada orang yang jalannya secepat ini.”
Alya tidak berniat tertawa, tapi bibirnya hampir terangkat. Hampir. Ada sesuatu dalam caranya berbicara yang terasa… jujur. Tidak dibuat-buat. Namun ia tetap menjaga dirinya. Ia sudah terbiasa dengan dinding, bukan jendela terbuka.
Saat mereka tiba di ujung jalan, arah mereka berpisah. Raka berhenti, menutup payungnya. “Hati-hati. Hujannya belum kelar,” katanya sambil sedikit mengangguk sebelum melangkah pergi.
Alya berdiri sejenak, menatap punggungnya yang menjauh. Ia tidak mengerti kenapa ia memperhatikannya—itu bukan kebiasaan dirinya. Ia biasanya melupakan orang dalam hitungan detik setelah berpapasan. Namun kali ini berbeda. Ada sesuatu yang tertinggal, sesuatu yang mengusik ketenangan yang selama ini ia kelola dengan cermat.
Ia menggeleng, menata ulang langkahnya, dan melanjutkan perjalanan. Baginya, ini seharusnya hanya pertemuan kecil yang tidak berarti. Hanya kebetulan.
Tapi di sudut hatinya yang terkunci itu, ada getaran halus yang mencoba mengetuk pelan. Tanpa ia sadari, kebetulan kecil itu baru saja membuka celah pertama yang selama ini tidak pernah ia izinkan siapa pun sentuh.
Dua Luka yang Saling Mengenal
Sejak pertemuan itu, Alya tidak menyangka bahwa ia akan kembali bertemu Raka. Namun kenyataan berkata lain. Dua hari setelah kejadian di bawah hujan, Alya sedang fokus bekerja di depan laptop ketika seseorang mengetuk pintu ruangannya.
“Permisi, saya diminta mengantarkan berkas untuk Bu Alya.” Suara itu familiar. Terlalu familiar.
Alya mengangkat wajah, dan mendapati Raka berdiri di ambang pintu dengan map cokelat di tangan. Untuk beberapa detik, ia terpaku. Dunia seperti mengejeknya—semesta tidak hanya membiarkan pria itu lewat, tapi sengaja memutar jalur agar ia kembali muncul.
“Raka?” ucap Alya pelan.
“Oh, jadi benar ini ruangannya,” jawab Raka sambil tersenyum kecil. “Sepertinya kita memang sering dipertemukan.”
Alya mengambil map itu tanpa banyak bicara, mencoba menjaga jarak seperti biasa. Tapi Raka tidak banyak berbasa-basi. Ia hanya mengangguk sopan sebelum pergi. Namun kehadirannya meninggalkan jejak halus—sebuah tanda bahwa pertemuan mereka tidak selesai begitu saja.
Hari-hari berikutnya, Alya mendapati bahwa Raka ternyata adalah karyawan baru di divisi yang sering bekerja sama dengan timnya. Mereka tidak sering ngobrol, tetapi setiap kali berinteraksi, ada sesuatu yang berbeda. Raka tidak memandangnya dengan penuh penilaian seperti kebanyakan orang. Ia memperlakukan Alya seperti manusia biasa, bukan atasan yang ditakuti atau perempuan yang sulit didekati.
Suatu sore, saat kantor mulai sepi, Alya menemukan Raka duduk sendirian di pantry dengan wajah yang tampak lelah. Ia hampir saja berlalu begitu saja, namun langkahnya terhenti ketika mendengar desahan berat dari pria itu.
“Kamu baik-baik saja?” entah bagaimana, kalimat itu keluar dari mulut Alya.
Raka mendongak, agak terkejut bahwa Alya yang bertanya. “Hanya… hari yang panjang,” jawabnya, mencoba tersenyum tapi tidak berhasil menyembunyikan kesedihan yang membayang di matanya.
Ada sesuatu dalam sorot mata itu yang tiba-tiba terasa familiar bagi Alya. Rasa patah. Rasa kehilangan. Rasa sepi yang disembunyikan rapat-rapat dari dunia luar. Emosi yang selama ini ia simpan seorang diri.
“Kalau boleh jujur,” Raka menghela napas, “saya masih belajar mulai dari awal lagi. Pindah ke kota baru, pekerjaan baru… dan meninggalkan hal-hal yang belum sempat saya perbaiki di masa lalu.”
Alya tidak tahu harus berkata apa. Namun untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa seseorang sedang berbicara dengan bahasa yang ia mengerti—bahasa luka.
“Masa lalu memang tidak selalu ramah,” ucap Alya pelan, tanpa sadar membiarkan sedikit kelembutan lolos dari intonasinya.
Raka menatapnya, kali ini dengan rasa heran yang lebih lembut. “Jadi kamu juga mengerti?”
Alya tidak menjawab langsung. Namun diamnya sudah cukup menunjukkan bahwa ia tidak asing dengan rasa sakit itu.
Mereka duduk dalam keheningan, tetapi bukan keheningan yang kaku. Itu keheningan yang terasa seperti pengakuan tanpa kata—bahwa keduanya membawa beban yang tidak ringan, dan tanpa sengaja, mereka bisa merasakan satu sama lain.
Untuk pertama kali dalam waktu yang sangat lama, Alya tidak merasa sendirian dalam luka yang ia bawa. Dan tanpa ia sadari, rasa saling memahami itu menjadi benih kecil yang diam-diam tumbuh di antara mereka.
Sebuah benih yang hanya bisa tumbuh ketika dua hati yang sama-sama rapuh menemukan bahwa mereka tidak perlu selalu kuat di hadapan satu sama lain.
Kebersamaan yang Tidak Direncanakan
Sejak percakapan singkat di pantry itu, ada sesuatu yang berubah dalam dinamika antara Alya dan Raka. Mereka tidak tiba-tiba menjadi dekat, tidak saling bertukar pesan, atau makan siang bersama seperti rekan kantoran lainnya. Namun, tanpa direncanakan, langkah-langkah mereka selalu menemukan cara untuk bertemu di titik yang sama.
Kadang, itu terjadi saat pulang kerja. Alya yang biasanya berjalan cepat menuju halte, kini beberapa kali menemukan Raka sedang berjalan hanya beberapa meter di belakangnya. Ia tidak mengejar, tidak memanggil, hanya menjaga jarak seolah memahami bahwa Alya masih membutuhkan ruangnya. Tetapi keberadaannya tetap terasa, seperti bayangan tenang yang tidak mengganggu namun hadir di sana.
Suatu hari, saat cuaca cukup cerah, Alya memutuskan membeli kopi di kedai kecil dekat kantor setelah jam kerja. Ia jarang melakukan itu. Biasanya, ia langsung pulang. Namun entah mengapa hari itu terasa lebih panjang dari biasanya. Ketika ia menunggu pesanannya, seorang suara muncul dari samping.
“Kita bertemu lagi,” ucap Raka sambil tersenyum, memegang dua bungkus roti.
Alya menoleh, sedikit terkejut. “Kamu sering ke sini?” tanyanya.
“Kalau lagi butuh energi tambahan. Roti mereka lumayan menyelamatkan,” jawabnya sambil mengangkat satu bungkus roti sebagai bukti.
Untuk pertama kalinya, Alya membalas dengan senyum kecil—sangat kecil, hampir tidak terlihat, tetapi itu tetap sebuah perubahan. Mereka tidak berbicara lama, hanya percakapan ringan tentang rasa kopi dan cuaca. Namun momen itu terasa… nyaman. Tidak menuntut. Tidak memaksa.
Keesokan harinya, kebetulan kembali terjadi. Alya yang biasanya membawa makan siang dari rumah lupa menyiapkannya. Ia pergi ke kantin kantor, dan melihat Raka sudah duduk sendirian di meja pojok. Tanpa berniat mendekat, Alya membeli makanannya dan berusaha mencari tempat duduk lain. Tapi semua kursi terisi.
“Kalau kamu tidak keberatan, duduk saja di sini,” kata Raka sambil menepuk kursi di depannya.
Alya ragu. Ia bukan tipe yang suka makan bersama. Namun situasi memaksanya. Ia duduk pelan, menjaga jarak seperti biasa. Mereka makan dalam diam selama beberapa menit. Hingga akhirnya Raka membuka percakapan santai tentang film terbaru yang sedang banyak dibicarakan. Anehnya, Alya merespons. Tidak banyak, tapi cukup untuk membuat Raka tersenyum dengan tulus.
Kebersamaan mereka tidak pernah menjadi janji. Tidak pernah direncanakan. Namun hari demi hari, kecil—nyaris tak terlihat—hubungan itu tumbuh. Mereka bertemu di lift, saling membantu membawa berkas berat, atau hanya sekadar bertukar pandang ketika rapat berlangsung terlalu lama. Hal-hal sederhana, tetapi menghangatkan ruang kosong di hati Alya secara perlahan.
Ada suatu sore ketika hujan kembali turun. Alya berdiri di depan pintu kantor, menatap langit yang kelabu. Payungnya tertinggal di rumah. Raka muncul dari arah belakang, memegang payung abu-abu yang sama seperti saat mereka pertama bertemu.
“Mau bareng lagi?” tanyanya, kali ini tanpa tersenyum berlebihan—hanya tawaran tulus.
Alya menatapnya, diam beberapa detik, sebelum akhirnya mengangguk pelan.
Dalam langkah kecil itu—berjalan bersama dalam hujan—Alya mulai menyadari bahwa kebersamaan tidak selalu harus direncanakan. Kadang, ia muncul dalam bentuk sederhana, masuk tanpa mengetuk, dan tiba-tiba menjadi sesuatu yang ia tunggu tanpa ia sadari.
Raka Masuk Lebih Dalam ke Dunia Alya
Alya tidak pernah membayangkan bahwa seseorang bisa masuk ke dalam hidupnya tanpa ia sadari. Hidupnya selalu teratur, tenang, dan penuh batas—terutama batas emosional. Namun keberadaan Raka perlahan membuat garis-garis itu memudar, bukan karena ia membiarkannya, tetapi karena Raka tidak pernah mencoba menerobos. Ia hanya hadir… dengan cara yang tidak mengusik, namun meninggalkan bekas.
Perubahan itu dimulai dari hal kecil. Alya mendapati dirinya tidak lagi menolak percakapan ringan. Ia mulai menunggu momen kebetulan di lift, atau langkah-langkah Raka yang terdengar beberapa detik setelahnya saat mereka pulang kerja. Ia bahkan mulai mengenali aroma parfumnya yang lembut, yang entah sejak kapan terasa familiar.
Suatu sore, ketika pekerjaan menumpuk dan kepala Alya terasa berat, Raka tiba-tiba meletakkan secangkir teh hangat di samping laptopnya.
“Teh jahe. Katanya bagus buat ngelepas penat,” ucapnya sambil tersenyum singkat sebelum kembali ke mejanya.
Alya terdiam. Tidak ada yang pernah memperhatikannya sedetail itu. Ia terbiasa menyembunyikan rasa lelah di balik ekspresi datar dan sikap profesional. Namun entah bagaimana, Raka bisa membaca hal-hal kecil yang luput dari mata orang lain.
Beberapa hari kemudian, Alya pulang lebih larut dari biasanya. Lift sudah tidak beroperasi, dan ia harus turun lewat tangga. Di lantai tiga, ia melihat Raka duduk di anak tangga sambil memegang ponselnya.
“Kamu lembur juga?” tanya Alya, sedikit heran.
Raka berdiri tergesa. “Nggak. Aku nunggu kamu.”
Alya hampir menghentikan napasnya. “Kenapa nunggu saya?”
Raka menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. “Aku lihat kamu masih kerja dan… aku cuma merasa kamu nggak seharusnya pulang sendirian di jam segini.”
Alya menatapnya lama. Tidak ada maksud tersembunyi dalam ucapan itu. Tidak ada rayuan, tidak ada harapan. Hanya kepedulian sederhana yang terasa asing namun menenangkan.
Sejak saat itu, Raka mulai masuk ke dunia Alya—bukan dengan memaksa, tetapi dengan memahami. Ia tahu kapan harus bicara, kapan harus diam. Ia tahu kapan Alya butuh ruang, dan kapan ia butuh kehadiran seseorang tanpa harus mengakuinya.
Ketika suatu malam Alya menerima telepon yang membuatnya menangis untuk pertama kalinya setelah sekian lama—tentang keluarganya, tentang masa lalu yang selama ini ia kubur—Raka kebetulan masih berada di kantor. Ia tidak bertanya apa pun. Tidak mencoba menghibur dengan kata-kata klise. Ia hanya duduk di samping Alya, memberi ruang agar Alya bisa bernapas tanpa merasa diawasi.
“It’s okay,” ucapnya pelan saat Alya menghapus air matanya dengan cepat. “Kamu nggak harus kuat terus.”
Kalimat itu meruntuhkan sesuatu di dalam diri Alya. Bukan dindingnya, tetapi kesepiannya.
Sejak hari itu, dunia Alya yang selama ini gelap perlahan berubah. Ada seseorang yang berjalan di dalamnya, menyalakan lampu-lampu kecil yang sebelumnya padam. Raka mengisi ruang-ruang yang sudah lama dibiarkan kosong, bukan sebagai pengganti siapa pun, tetapi sebagai dirinya sendiri—hadir dengan ketulusan, kesabaran, dan luka yang tidak jauh berbeda dari Alya.
Tanpa ia sadari, Raka tidak hanya masuk ke hidupnya.
Ia masuk lebih dalam—ke bagian yang selama ini Alya jaga paling rapat. Ke ruang yang hanya diisi oleh keheningan dan ingatan. Ke tempat yang ia sebut hatinya.
Ketakutan untuk Membuka Hati Sepenuhnya
Semakin dekat Alya dengan Raka, semakin kuat pula rasa takut yang selama ini ia sembunyikan. Ada bagian dari dirinya yang ingin percaya, ingin memberi ruang untuk seseorang yang membuat hidupnya terasa lebih hangat. Namun di balik semua itu, ada bayangan masa lalu yang tak pernah benar-benar hilang—bayangan yang menyeretnya kembali ke rasa sakit yang dulu hampir meruntuhkannya.
Raka mungkin tidak tahu seberapa besar keberadaannya memengaruhi hidup Alya. Ia datang dengan ketulusan, kesabaran, dan cara bicara yang lembut. Semua itu justru menjadi masalah bagi Alya. Ia takut… karena terlalu baik. Terlalu nyaman. Terlalu mungkin untuk ia cintai.
Dan yang lebih menakutkan, terlalu mungkin untuk kembali kehilangan.
Suatu sore, ketika mereka pulang bersama, suasana terasa berbeda. Tidak ada percakapan ringan tentang kopi atau kerjaan kantor. Alya lebih pendiam dari biasanya, langkahnya lebih cepat, seolah ingin menghindari sesuatu. Raka memperhatikan, namun ia tetap menjaga jarak.
“Alya,” panggilnya pelan ketika mereka berhenti di lampu merah untuk pejalan kaki. “Ada yang salah?”
Alya diam beberapa detik sebelum menjawab, “Nggak. Aku cuma capek.”
Raka tahu itu bukan alasan sebenarnya, tapi ia tidak memaksa. Ia hanya berjalan di samping Alya, memberikan ruang sambil tetap hadir. Namun semakin lama mereka berjalan, semakin besar konflik di dalam hati Alya. Keinginannya untuk membuka diri berhadapan dengan ketakutannya yang lebih tua dari hubungan apa pun yang pernah ia jalani.
Saat mereka sampai di depan gang kecil tempat Alya biasa menunggu transportasi, Raka memberanikan diri bertanya lagi.
“Kalau kamu lagi butuh sendiri, bilang aja. Aku nggak keberatan. Aku cuma… nggak mau kamu merasa harus menjauh tanpa alasan.”
Kata-kata itu menyentuh titik yang selama ini Alya hindari. Ia menggigit bibir bawahnya, menahan napas. “Raka… aku bukan orang yang mudah membuka hati. Dan semakin dekat kita, semakin aku takut.”
Raka menatapnya tanpa penilaian. “Takut kenapa?”
Alya mengalihkan pandangan. “Takut kehilangan. Takut dikecewakan. Takut aku nggak bisa menghadapi semua ini kalau kamu tiba-tiba pergi.”
Hening mengisi ruang di antara mereka. Hening yang tidak menyakitkan, tapi berat—seperti dua hati yang saling memahami namun sama-sama ragu melangkah.
Raka menarik napas perlahan sebelum berbicara. “Aku juga takut, Alya. Kita dua-duanya nggak datang dari masa lalu yang mudah. Tapi kalau kita terus lari dari rasa takut itu, kita nggak bakal ke mana-mana.”
Alya tidak menjawab. Sebuah sisi dalam dirinya ingin percaya pada kata-kata itu, namun sisi lain menahan—keras, kuat, dan penuh pertahanan.
“Aku nggak minta kamu langsung buka hati sepenuhnya,” lanjut Raka dengan suara yang lebih lembut. “Aku cuma minta… jangan tutup pintunya sebelum aku sempat mengetuk.”
Kalimat itu membuat dada Alya bergetar. Ia menunduk, berusaha menyembunyikan emosi yang mulai muncul di matanya. Raka tidak menyentuhnya, tidak mendekat. Ia hanya menunggu, dengan kesabaran yang semakin membuat Alya takut sekaligus ingin bertahan.
Hubungan mereka belum menjadi apa-apa. Namun ketakutan Alya menunjukkan betapa besar pengaruh Raka dalam hidupnya. Dan di dalam ketakutan itu, ada harapan kecil—bahwa mungkin, kali ini, ia tidak harus menghadapi dunia sendirian.
Tetapi untuk membuka hati sepenuhnya? Itu masih menjadi pertarungan yang belum selesai. Dan Alya belum tahu siapa yang akan menang: rasa takutnya… atau perasaan yang perlahan tumbuh untuk Raka.
Pengakuan Tanpa Kata
Malam itu, kota seperti menahan napas. Angin bergerak pelan, seolah memahami bahwa ada sesuatu yang rapuh sedang terjadi antara dua hati yang terlalu lama belajar bertahan. Alya duduk di balkon rumahnya, memeluk lutut sambil menatap lampu-lampu jalan yang berpendar kuning keemasan. Suasana di dalam dirinya penuh gejolak, tetapi ia tidak tahu bagaimana cara menuangkannya ke dalam kata. Dan di saat yang sama, langkah kaki Raka terdengar pelan menaiki tangga, mendekati dirinya seperti biasa—tenang, tidak mengusik, tetapi selalu mampu membuat hatinya bergetar.
Raka tidak mengatakan apa pun ketika menemukan Alya di sana. Ia hanya duduk di sampingnya, memberi jarak yang cukup untuk menghormati ruang Alya, tapi cukup dekat untuk menunjukkan bahwa ia ada. Kehadiran itu lebih jujur daripada banyak janji. Alya merasakan dadanya menghangat, namun dalam kehangatan itu ada ketakutan yang selama ini ia pelihara. Ia takut kehilangan. Ia takut berharap terlalu tinggi. Ia takut hatinya kembali pecah seperti dulu.
“Alya…” suara Raka pelan, hampir seperti bisikan yang dibawa angin.
Alya menoleh sedikit, tanpa benar-benar berani menatapnya. “Hm?”
“Kalau sesuatu mengganggumu… kamu nggak harus hadapi sendirian.”
Kalimat itu sederhana. Tapi justru di situlah letak kekuatannya. Tidak ada paksaan, tidak ada tuntutan. Hanya ketulusan, dan itu membuat hati Alya seperti dipeluk perlahan. Raka tidak meminta Alya membuka diri. Ia hanya menawarkan tempat yang aman.
Alya menelan napas. Ada ribuan hal yang ingin ia katakan—tentang bagaimana ia mulai takut setiap kali Raka tersenyum padanya, karena ia tahu ia semakin jatuh. Tentang bagaimana ia mulai menunggu pesan-pesan singkatnya. Tentang bagaimana dunia terasa lebih ringan ketika lelaki itu ada. Tetapi semua itu berputar seperti kabut di dalam kepalanya, tak menemukan bentuk yang jelas.
Dan anehnya, Raka mengerti.
Ia tidak bertanya lebih jauh. Ia hanya menatap langit malam, lalu perlahan menyentuh punggung tangan Alya dengan ujung jarinya. Sentuhan itu ringan—sangat ringan—namun menyampaikan lebih banyak daripada kalimat mana pun yang mungkin terlontar. Alya bisa merasakan jantungnya menghentak keras, tetapi ia tidak menjauh.
Ia membiarkan sentuhan itu ada.
Di antara mereka, keheningan bukan berarti kosong. Keheningan itu justru terisi penuh oleh sesuatu yang hangat dan lembut. Semacam kejujuran emosional yang tidak tersampaikan lewat kata-kata, tetapi mengalir melalui setiap gerakan kecil, setiap helaan napas, setiap cara mereka saling hadir tanpa berlebihan.
Alya akhirnya bersandar pelan pada bahu Raka. Tidak terlalu dekat, tetapi cukup untuk menunjukkan bahwa ia mulai mempercayai sesuatu di dalam dirinya—dan di dalam diri Raka. Lelaki itu tidak bergerak. Tidak menegakkan tubuh, tidak menunjukkan keterkejutan. Ia hanya menerima, seolah posisi itu adalah tempat yang sudah ia siapkan sejak lama.
“Aku nggak tahu harus ngomong apa,” bisik Alya.
“Nggak apa-apa,” jawab Raka lembut. “Kadang yang penting bukan kata-katanya.”
Alya tersenyum kecil, pertama kalinya malam itu. Karena ia tahu, meski mereka tidak mengucapkan apa pun, ada sesuatu antara mereka yang akhirnya berani muncul ke permukaan.
Pengakuan itu tidak lahir dari bibir—tetapi dari cara mereka saling berada. Dari cara hati mereka saling menanggapi tanpa diminta.
Dan untuk pertama kalinya, Alya merasa bahwa mungkin… cinta tidak perlu selalu diteriakkan.
Kadang, ia hanya perlu dirasakan.
Menyadari Bahwa Cinta Sudah Ada
Alya terbangun lebih pagi dari biasanya. Entah mengapa, sejak malam pengakuan tanpa kata itu, hatinya seperti dipenuhi sesuatu yang sulit dijelaskan. Ada hangat yang mendesak pelan dari dalam dada, ada senyum kecil yang muncul setiap kali ia mengingat cara Raka menemaninya tanpa banyak bicara. Ia tidak bermaksud jatuh cinta—tidak pernah berniat untuk membiarkan hatinya mendekat lagi. Namun perasaan itu tumbuh tanpa permisi, seperti bunga liar yang muncul di sela trotoar yang retak.
Ia membuat kopi panas, lalu duduk di meja makan sambil memandangi cangkir itu. “Kenapa aku kayak gini…,” gumamnya, setengah malu, setengah bingung.
Ia memutar kembali momen-momen kecil bersama Raka. Bagaimana lelaki itu selalu tahu kapan harus diam, kapan harus hadir, kapan harus membuatnya tertawa. Bagaimana Raka memperlakukan dirinya seolah ia bukan beban, bukan seseorang yang harus disembuhkan, tetapi seseorang yang layak didampingi.
Perhatian Raka selalu sederhana, tapi justru di situlah letak ketulusannya. Raka tidak pernah mencoba menjadi pahlawan; ia hanya menjadi dirinya sendiri—dan entah bagaimana, itu cukup membuat dinding pertahanan Alya mulai retak.
Siang itu, mereka bertemu di taman dekat rumah. Awalnya hanya janji bertukar buku, tetapi kenyataannya, mereka selalu punya alasan kecil untuk bertemu. Alya datang duluan dan duduk di bangku kayu yang teduh oleh pohon ketapang. Ia menggenggam buku yang hendak dipinjamkan pada Raka, tetapi pikirannya melayang—bukan pada halaman-halaman buku itu, melainkan pada seseorang yang sebentar lagi akan muncul di balik tikungan.
Dan benar saja, sosok itu datang dengan langkah santai, kaus abu-abu yang selalu berhasil membuatnya terlihat sederhana tapi menarik, serta senyum kecil yang entah kenapa selalu berhasil menenangkan hati Alya.
“Kamu nunggu lama?” tanya Raka.
“Nggak kok,” jawab Alya. Padahal ia sudah menunggu sepuluh menit, dan itu sama sekali tidak mengganggu.
Raka duduk di sampingnya, tidak terlalu dekat, tidak terlalu jauh. Jarak yang sama seperti biasa, tapi anehnya hari itu terasa berbeda. Ada sesuatu yang seolah bergetar tipis di udara di antara mereka.
“Kamu kenapa kelihatannya senyum-senyum sendiri?” tanya Raka sambil menoleh.
Alya refleks memalingkan wajah. “Nggak. Nggak kok.”
Namun suara hatinya berbisik: Ini karena kamu.
Mereka menghabiskan waktu dengan membaca, sesekali bertukar komentar kecil, atau hanya membiarkan keheningan mengalir tanpa canggung. Di tengah-tengah itu, Alya menyadari sesuatu yang membuat napasnya tercekat pelan—ia nyaman di sini. Terlalu nyaman. Dan rasa nyaman inilah yang dulu pernah hilang, terkubur bersama luka masa lalunya.
Tanpa sadar, ia menatap Raka lebih lama dari biasanya. Lelaki itu sedang membaca, wajahnya serius tapi damai. Tangannya sesekali membalik halaman, gerakannya lembut, seolah hidup tidak pernah memaksanya terburu-buru.
Dan saat itulah Alya merasa jantungnya berdesir—bukan karena kejutan, bukan karena kegagapan—tetapi karena pengakuan yang selama ini ia coba abaikan.
Aku sudah jatuh… dari dulu, mungkin. Hanya aku yang tidak berani mengakuinya.
Ketika Raka tiba-tiba menatap balik, mata mereka bertemu. Tidak ada dialog. Tidak ada penjelasan.